Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana. Pada tahun 2020 Indonesia dideklarasikan oleh World Bank sebagai salah satu dari 35 negara dengan risiko bencana tertinggi. Hingga Februari 2021 saja sudah telah terjadi 542 bencana alam di Indonesia, 281 di antaranya merupakan bencana banjir sebagai jenis bencana yang paling banyak terjadi (1). Bencana tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar, baik material maupun non-material.
Saat ini lebih dari separuh populasi penduduk Indonesia sudah tinggal di perkotaan. Fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan risiko becana yang tinggi membuat kota-kota di Indonesia harus mampu hidup berdampingan dengannya. Maka dari itu, kota-kota di Indonesia harus menjadi kota yang berketahanan (resilient city) dan tangguh terhadap bencana. 100 Resilient Cities (100RC) mendefinisikan ‘Ketahanan Kota’ sebagai “kapasitas individu, masyarakat, institusi, bisnis, dan sistem dari sebuah kota untuk bisa bertahan, beradaptasi, dan tumbuh terhadap tekanan (stress) yang terus menerus dan guncangan (shock) besar yang dihadapi”.
Kota tidak dapat dilepaskan dari masyarakatnya, bahkan masyarakat lah yang membentuk kota itu sendiri. Terdapat empat konseptualisasi masyarakat yang berbeda, yang masing-masing mungkin memiliki implikasi yang berbeda untuk berpikir tentang ketahanan dan bagaimana membangunnya. (2) Pertama, masyarakat sebagai unit afektif dari kepemilikan dan identitas, yang dicirikan oleh hubungan yang erat di antara anggota, norma bersama, dan keadaan bersama. Kedua, masyarakat lokal sebagai unit fungsional produksi dan pertukaran, ruang kegiatan di mana berbagai fungsi sosial terkonsentrasi. Ketiga, masyarakat sebagai jaringan hubungan – struktur pertukaran antar individu. Keempat, masyarakat sebagai unit aksi kolektif.
Konsep ketahanan perlu dibina di tingkat masyarakat karena kebanyakan bencana bersifat lokal dan memengaruhi masyarakat secara berbeda. Setiap masyarakat di berbagai wilayah memiliki keunikannya sendiri dari sisi pemenuhan kebutuhan, pengalaman, sumber daya, serta gagasan tentang pencegahan, perlindungan, respon, dan pemulihan dari berbagai jenis bencana. Selain itu, karena masyarakat adalah bagian dari keseluruhan yang lebih besar (kota, wilayah, dan negara), pendekatan ketahanan masyarakat dari bawah ke atas (a bottom-up community resilience approach) akan membangun ketahanan lokal, regional, dan nasional secara bersamaan. Memperkuat kapasitas penanggulangan lokal dapat membantu memberdayakan masyarakat lokal daripada mendorong ketergantungan kelembagaan. (3)
Terdapat suatu konsep yang menarik dalam ko-produksi kota berketahanan, yaitu R-Urban. R-Urban dipahami sebagai open source strategy yang memungkinkan penduduk kota untuk berperan aktif dalam mengubah kota sekaligus mengubah cara hidup mereka di dalamnya. R-Urban mengusulkan praktik kolektif baru yang berkontribusi untuk menciptakan kembali hubungan yang dekat berdasarkan solidaritas, yaitu cara untuk terlibat dan memutuskan bersama, berbagi ruang dan fasilitas kelompok, aturan, serta prinsip hidup bersama. Transformasi perlu dilakukan pada skala mikro masing-masing individu, masing-masing subjektivitas, untuk membangun budaya ketahanan. Budaya ketahanan mencakup proses reskilling, berbagi keterampilan, berjejaring sosial, dan pembelajaran bersama. Praktik mikro-sosial dan mikro-budaya ini, biasanya terkait dengan gaya hidup dan aktivitas individu. (4)
Disayangkan bahwa partisipasi masyarakat dalam membangun kota berketahanan di Indonesia masih tergolong rendah. Jakarta yang tergabung dalam jejaring internasional 100 Resilient Cities masih belum memiliki kekuatan partisipasi masyarakat yang merupakan salah satu dari 12 faktor utama. Oleh karena itu, perlu didorong kesadaran dan peran aktif atau partisipasi masyarakat dalam membangun kota yang berketahanan. Hal tersebut dapat dimulai dari individu dan masyarakat hingga terakumulasi di tingkal lokal, regional, dan nasional.
(1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana RI, 2021 (2) Robert J. Chaskin, 2008, Resilience, Community, and Resilient Communities: Conditioning Contexts and Collective Action, Child Care in Practice Vol. 14, No 1, p. 65–74 (3) Patricia H. Longstaff et al., 2010, Building Resilient Communities: A Preliminary Framework for Assessment, Homeland Security Affairs, Volume VI, No 3 (4) Constantin Petcou and Doina Petrescu, 2015, R-URBAN or how to co-produce a resilient city, ephemera: theory & politics in organization, Volume 15(1): 249–262
**Mukhlis Silmi Kaffah seorang mahasiswa Magister Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung dan Pengurus Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia Provinsi Jawa Barat. Selain sebagai seorang mahasiswa magister dan pengurus IAP, ia juga Founder SURBAND ID (Sustainable Urban Development Indonesia). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]