Nasib Pohon Lokal Sebagai Identitas Kota Dalam Pembangunan Berkelanjutan

07 Sep 2021

Oleh: Siska Elvi Yunita Ketika berbagai kota di dunia berlomba-lomba menyediakan tempat tinggal paling layak dan ramah lingkungan, kota-kota di Indonesia masih dihadapkan dengan masalah lingkungan yang terus mengancam masyarakat urban. Segala kemewahan yang ditawarkan kota memicu terjadinya arus urbanisasi tak terkendali namun tidak dibarengi dengan perencanaan dan pengelolaan permukiman serta ruang terbuka hijau yang baik sehingga kota semakin rentan terhadap perubahan iklim dan bencana alam. Di awal 2020, banjir besar melanda Jakarta dan sekitarnya akibat curah hujan ekstrem sementara di wilayah Nusa Tenggara Barat mengalami kekeringan panjang selama 112 hari tanpa hujan. Ironisnya, keberadaan kota menjadi pusat aktivitas sosial-ekonomi sekaligus sebagai penghasil emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang cukup tinggi. Kawasan perkotaan di 24 kota di Indonesia serta Brazil, India dan Afrika Selatan turut berkontribusi menghasilkan emisi GRK sebesar 40–70% yang dapat memicu pemanasan global dan perubahan iklim (ICLEI-Local Government for Sustainability). Utamanya, disebabkan oleh CO2 hasil pembakaran energi fosil semakin memperburuk kualitas udara perkotaan. Sektor energi bahan bakar fosil masih menjadi primadona dalam pemenuhan kebutuhan aktivitas kota seperti industri, transportasi, dan listrik rumah tangga yang terus meningkat setiap tahun. Menurut data dari pembagian emisi per kapita tiap negara menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat teratas se-Asia Tenggara dalam indeks penghasil emisi karbon. Kondisi kota menjadi sebuah dilema antara harapan sekaligus ancaman bagi warga kota khususnya masyarakat pinggiran yang lebih rentan terhadap dampak bencana dan krisis iklim.

Bisakah kita membangun kota yang tangguh, ramah iklim dan berbudaya?

Pertanyaan tersebut tidak terlalu berlebihan dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati bersama melalui Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi GRK hingga 29% dengan upaya sendiri pada 2030. Upaya pemerintah dalam mencapai target ambisius tertuang dalam program strategi Pembangunan Kota Rendah Emisi/Urban Low Emission Development Strategy (Urban LEDS). Program tersebut sejalan dengan konsep kota berkelanjutan yang mencakup tiga aspek keseimbangan yaitu lingkungan, ekonomi dan sosial. Namun pelaksanaannya di Indonesia masih menitikberatkan pada pembangunan fisik sedangkan aspek sosial-budaya belum begitu mendapat perhatian. Pemerintah dalam mewujudkan kota berkelanjutan diharapkan mampu melestarikan nilai budaya yang menjadi identitas kota. Langkah awal penyelesaian isu tersebut bisa dimulai dengan penyediaan ruang terbuka hijau dan hutan kota khususnya di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui penanaman pohon lokal. Mengapa harus pohon lokal dan apa pentingnya bagi kehidupan kota?

Pohon lokal merupakan tanaman pohon asli daerah atau tanaman yang memiliki makna tersendiri bagi suatu daerah dan berfungsi sebagai pemberi identitas daerah tersebut (Carpenter et al. 1975 dalam Shodiq et al. 2018). Mari kita melihat sejarah asal-usul nama kota di sekitar kita yang ternyata berasal dari nama pohon yang muncul jauh sebelum bangsa kita merdeka. Semarang adalah salah satu kota yang memiliki sejarah tersebut di mana Raden Pandanarang pada saat menggarap lahan pertanian melihat pohon asam tumbuh subur dengan jarak berjauhan/jarang. Kemudian tercetus nama Semarang yang berasal dari kata asem dan arang (jarang) yang artinya pohon asam yang tumbuh jarang-jarang. Sejak saat itu, pohon asam erat kaitannya dengan daerah tersebut hingga dijadikan sebagai identitas kota Semarang.

Kota Majalengka juga berasal dari nama pohon yakni maja yang tumbuh di negeri Sindangkasih dipercaya bahwa pada masa itu pohon maja dimusnahkan sehingga masyarakat menyebutnya “majane langka” yang artinya pohon maja-nya hilang atau langka. Kini pohon tersebut keberadaannya sudah sangat langka hanya tersisa satu pohon saja yang ditanam di area komplek Pendopo Majalengka. Sebenarnya masih banyak lagi kota maupun kabupaten yang berasal dari nama pohon lokal yang dijadikan sebagai identitas suatu kota hingga saat ini.

Tak hanya nilai sosial-budaya saja, pohon juga dapat digunakan untuk aksi mitigasi dalam pembangunan perkotaan. Sebagai elemen penting dalam restorasi ekosistem kota maka pemilihan jenis pohon harus disesuaikan dengan karakter ekologis pohon, kondisi tanah dan lansekap kota supaya sistem drainase dan saluran pembuangan tidak terganggu oleh akar pohon. Jenis pohon yang bersifat lokal dinilai mampu beradaptasi lebih baik ketimbang pohon asing. Keberadaan pohon asing yang mendominasi dapat mengganggu habitat pohon lokal sehingga mengalami kepunahan. Jika pohon lokal punah maka dapat merusak ekosistem dan berdampak terhadap ekologi, ekonomi dan kesejahteraan manusia. Saat ini, ketersediaan bibitnya kian sulit didapatkan lantaran kurang dibudidayakan dan tidak terlalu populer di masyarakat. Padahal, pohon merupakan teknologi terbaik dan paling efisien dalam menyerap emisi GRK. Selain itu, sebagai cadangan oksigen dan air, habitat keanekaragaman hayati, mengurangi pemanasan global, penyeimbang ekosistem, dan simbol budaya. Manfaat tersebut dapat dijadikan solusi tepat dalam mencegah bencana akibat perubahan iklim seperti banjir, penurunan tanah dan kemarau panjang. Pohon lokal mampu merepresentasikan identitas kota erat kaitannya dengan nilai sosial-budaya masyarakat sekaligus penopang kehidupan yang selaras dengan alam. Jika tidak kita lestarikan segera, lantas budaya kota seperti apa yang akan diwariskan pada generasi selanjutnya.

REFERENSI PUSTAKA

Shodiq MA, Budiarti T, Nasrullah N. 2018. Kajian Potensi Koleksi Pohon Lokal Kebun Raya Cibodas Untuk Fungsi Estetika Dalam Lanskap. Jurnal Lanskap Indonesia. Vol.10, no.1, 2018. 1–6. Novianti, Kurnia. 2016. Kota Berkelanjutan: Antara Ide Dan Implementasi Dalam Perspektif Pemangku Kepentingan. Jurnal Kota Berkelanjutan. Vol.17, no.3, Desember 2016. 117–192. Basak SR, Basak AC, Rahman MA. 2015. Impacts of Floods on Forest Trees & Their Coping Strategies in Bangladesh. Journal Weather and Climate Extremes. Vol.7, January 2015. 43–48. Sumber: “Sustainability Booklet Series 4 Cities” from wri.org, published on October 20, 2020. Sumber: http://www.un.org/sustainabledevelopment Sumber: https://www.wri.org/our-work/project/cities4forests/about-cities4forests. Diakses tanggal 16 Juli 2021. Sumber: https://www.mongabay.co.id/2019/12/20/tanpa-musuh-alami-tumbuhan-asing-ivasif-akan-sulit-diatasi. Diakses tanggal 17 Juli 2021. Sumber: https://www.mongabay.co.id/2015/05/08/seperti-apa-komitmen-kota-di-dunia-terhadap-penurunan-emisi-gas-rumah-kaca. Diakses tanggal 17 Juli 2021. Sumber: https://m.jabarnews.com/read/72175/buah-maja-langka-yang-terlantarkan. Diakses tanggal 20 Juli 2021. Sumber: https://www.bulibi.com/post/fakta-unik-semarang. Diakses tanggal 20 Juli 2021. Sumber: www.urban-leds.org Sumber: www.iclei.org **Siska adalah seorang fasilitator Nature X Youth For Biodiversity di WWF Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]